Jan Willem Jansens dan Direbutnya Pulau Jawa (Perang Napoleon di Pulau Jawa III)
Pengganti Daendels di Hindia Belanda adalah Jan Willem Jansens. Kehadirannya sebagai pemangku kekuasaan Hindia Belanda menarik untuk didalami. Riwayat kepemimpinannya dalam pasukan Napoleon memiliki catatan yang buruk. Tanjung Harapan di Afrika, salah satu koloni Belanda dibawah pimpinan Jansens terpaksa harus diserahkan tanpa perlawanan berarti kepada kerajaan Inggris melalui perjanjian pada 1806 (Ricklefs: 2008). Usahanya untuk menduduki jabatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dilakukan dengan intrik. Demi menjadi Gubernur Jenderal, Janssens menebar hujatan dan fitnah yang dibocorkan oleh pejabat tinggi Belanda mengenai langkah kejam yang diambil oleh Daendels yang otoriter. Berbagai gosip itu berkesan bahwa Daendels memperlakukan pribumi secara tidak manusiawi. Lebih buruk lagi, Daendels dianggap gila: “tiran yang berkuasa itu menjadikan dirinya raja Jawa” (Isnaeni: 2011).
Jean Rocher dalam novel Perang Napoleon di Jawa 1811, menarasikan sosok Janssens yang tidak memiliki kecakapan sebagai pimpinan perang. Oleh Lord Minto, Janssens adalah perwira salon atau lebih tepat kalau disebut perwira logistik yang lebih suka berlama-lama mediskusikan hal remeh temeh dibandingkan menyusun strategi untuk mempertahankan pulau Jawa. Pulau Jawa bagi Belanda dibawah kekuasaan Perancis dan oleh Inggris memiliki posisi strategis untuk menopang perekonomian untuk melancaarkan misi menguasai dunia. Karena di nilai berharga, Daendels berusaha menyiapkan segala sesuatunya untuk mempertahankan pulau Jawa agar tidak direbut oleh armada Kerajaan Inggris.
Janssens yang resmi menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda secara personal tidak menyukai sosok Daendels, sehingga persiapan pertahanan teritori yang sudah disiapkan tidak dimanfaatkan dengan baik olehnya. Pada tanggal 4 Agustus 1811 tentara Inggris mendarat di Cilincing, Batavia, dibawah pimpinan Lord Minto yang memerintahkan Thomas Stamford Raffles di Penang untuk merebut Pulau Jawa. Penyerbuan Inggris ke Batavia ini dipimpin oleh Lieutenant General Sir Samuel Auchmuty. Ketika Inggris mulai berlabuh di Cilincing, dia justru menyuruh memusnahkan tandon logistik kolonial dengan membakarnya sambil menyiraminya dengan air. Janssens menempatkan semua pasukannya untuk menjaga pos di Ancol dan berikutnya secara perlahan Janssens mundur ke Weltevreden dengan mengosongkan Meester Cornelis (Rocher: 2001).
Perang dalam medan pertempuran membutuhkan semangat dan spirit untuk menang, oleh karena itu tugas untuk membangkitkan jiwa pejuang berada ditangan panglima tertinggi perang. Membangkitkan semangat juang bisa dengan cara agitasi atau orasi dan pemeriksaan kesiapan perlengkapan perang. Janssens sebagai gubernur jenderal dan panglima perang Belanda-Perancis di Hindia Belanda justru melakukan hal yang tidak lazim untuk membangkitkan semangat juang pasukannya. Alih-alih memompa semangat pasukan Perancis dengan mengadakan pesta “Santo Napoleon” untuk kali pertama di Jawa selama tiga hari, pesta tersebut malah membuat pasukan tidak disiplin. Setelah apel pagi, mereka luntang-lantung ke warung. Sementara itu, Inggris berada pada posisi on fire siap menyerang (Isnaeni: 2011).
Pada tanggal 26 Agustus 1811, Batavia jatuh ke tangan Inggris setelah terjadi pertempuran di Benteng Meester Cornelis. Pasca direbutnya Batavia oleh Inggris, Janssens dan pasukannya menyelamatkan diri melalui jalan raya pos menuju Semarang. Di Semarang, Janssens bergabung dengan Legiun Mangkunegaran dan kemudian ikut bertarung mempertahankan wilayahnya dari serangan Inggris yang masuk ke Semarang melalui jalur laut.
Pasukan Inggris berlabuh di perairan pelabuhan Semarang pada 10 September 1811. Pertempuran terakhir tentara Belanda menghadapi Inggris terjadi di Jatingaleh. Tentara Inggirs dipimpin oleh Kolonel Gibbs (Marihandono: 2005). Dalam rangka mendesak pasukan Janssens, Gibbs menggunakan strategi yang asing. Pasukan Gibbs memilih strategi mengejutkan musuh dengan tembakan artileri/meriam pada malam hari, menciptakan suasana segalau mungkin dan memanfaatkan kekacauan ini untuk bergerak maju sejauh mungkin dengan segala kekuatan yang ada hingga ke Ungaran. Akhir dari pertempuran ini adalah diadakannya Kapitulasi Tuntang dan Belanda menyerahkan pulau Jawa seutuhnya kepada Inggris pada tanggal 18 September 1811.
Jean Rocher dalam novel Perang Napoleon di Jawa 1811, menarasikan sosok Janssens yang tidak memiliki kecakapan sebagai pimpinan perang. Oleh Lord Minto, Janssens adalah perwira salon atau lebih tepat kalau disebut perwira logistik yang lebih suka berlama-lama mediskusikan hal remeh temeh dibandingkan menyusun strategi untuk mempertahankan pulau Jawa. Pulau Jawa bagi Belanda dibawah kekuasaan Perancis dan oleh Inggris memiliki posisi strategis untuk menopang perekonomian untuk melancaarkan misi menguasai dunia. Karena di nilai berharga, Daendels berusaha menyiapkan segala sesuatunya untuk mempertahankan pulau Jawa agar tidak direbut oleh armada Kerajaan Inggris.
Janssens yang resmi menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda secara personal tidak menyukai sosok Daendels, sehingga persiapan pertahanan teritori yang sudah disiapkan tidak dimanfaatkan dengan baik olehnya. Pada tanggal 4 Agustus 1811 tentara Inggris mendarat di Cilincing, Batavia, dibawah pimpinan Lord Minto yang memerintahkan Thomas Stamford Raffles di Penang untuk merebut Pulau Jawa. Penyerbuan Inggris ke Batavia ini dipimpin oleh Lieutenant General Sir Samuel Auchmuty. Ketika Inggris mulai berlabuh di Cilincing, dia justru menyuruh memusnahkan tandon logistik kolonial dengan membakarnya sambil menyiraminya dengan air. Janssens menempatkan semua pasukannya untuk menjaga pos di Ancol dan berikutnya secara perlahan Janssens mundur ke Weltevreden dengan mengosongkan Meester Cornelis (Rocher: 2001).
Perang dalam medan pertempuran membutuhkan semangat dan spirit untuk menang, oleh karena itu tugas untuk membangkitkan jiwa pejuang berada ditangan panglima tertinggi perang. Membangkitkan semangat juang bisa dengan cara agitasi atau orasi dan pemeriksaan kesiapan perlengkapan perang. Janssens sebagai gubernur jenderal dan panglima perang Belanda-Perancis di Hindia Belanda justru melakukan hal yang tidak lazim untuk membangkitkan semangat juang pasukannya. Alih-alih memompa semangat pasukan Perancis dengan mengadakan pesta “Santo Napoleon” untuk kali pertama di Jawa selama tiga hari, pesta tersebut malah membuat pasukan tidak disiplin. Setelah apel pagi, mereka luntang-lantung ke warung. Sementara itu, Inggris berada pada posisi on fire siap menyerang (Isnaeni: 2011).
Pada tanggal 26 Agustus 1811, Batavia jatuh ke tangan Inggris setelah terjadi pertempuran di Benteng Meester Cornelis. Pasca direbutnya Batavia oleh Inggris, Janssens dan pasukannya menyelamatkan diri melalui jalan raya pos menuju Semarang. Di Semarang, Janssens bergabung dengan Legiun Mangkunegaran dan kemudian ikut bertarung mempertahankan wilayahnya dari serangan Inggris yang masuk ke Semarang melalui jalur laut.
Pasukan Inggris berlabuh di perairan pelabuhan Semarang pada 10 September 1811. Pertempuran terakhir tentara Belanda menghadapi Inggris terjadi di Jatingaleh. Tentara Inggirs dipimpin oleh Kolonel Gibbs (Marihandono: 2005). Dalam rangka mendesak pasukan Janssens, Gibbs menggunakan strategi yang asing. Pasukan Gibbs memilih strategi mengejutkan musuh dengan tembakan artileri/meriam pada malam hari, menciptakan suasana segalau mungkin dan memanfaatkan kekacauan ini untuk bergerak maju sejauh mungkin dengan segala kekuatan yang ada hingga ke Ungaran. Akhir dari pertempuran ini adalah diadakannya Kapitulasi Tuntang dan Belanda menyerahkan pulau Jawa seutuhnya kepada Inggris pada tanggal 18 September 1811.
Komentar
Posting Komentar