Pariaman dan Garam (Seri: Pantai Barat Sumatera)

Piaman (Pariaman) kota tabuik, kira-kira itulah ingatan kolektif kita akan kota yang berada di pantai barat Pulau Sumatera. Sebuah kota yang memiliki peran sejarah beratus-ratus tahun. Keberadaannya memiliki nilai strategis bagi jalur perdagangan di pantai barat Sumatera. Selain Pariaman, pantai barat Sumatera juga memiliki beberapa pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan. Diantara pelabuhan kuno yang terkenal di pantai barat Sumatera adalah Padang, Tiku, Air Bangis, Sibolga, Barus, hingga Aceh. Dengan posisi yang strategis ini, maka pasca Pengumuman Plakat Panjang 1833 Pariaman menjadi salah satu pusat kekuasaan kolonial setelah perlawanan Paderi bisa dilumpuhkan.
Selain dikenal sebagai kota Tabuik, yang setiap 10 Muharram memperingati kematian Hasan Husein dan mendatangkan banyak pengunjung, Pariaman juga dikenal sebagai pengukuh jatidiri keislaman di ranah Minangkabau. Keberadaan Surau di Ulakan menjadikan Pariaman sebagai salah satu titik persebaran agama Islam di ranah pesisir Minangkabau. Salah satu tarekat yang berkembang pesat di Pariaman adalah tarekat Syattariyah. Tarekat ini kemudian juga menjadi penggerak perekonomian diwilayah ini.
Pasar Pariaman 1890
(Sumber: KITLV)

Pariaman zaman dulu adalah kota pelabuhan. Sebagai kota pelabuhan, semua jenis komoditas yang menjadi hasil bumi ada di Pariaman. Garam merupakan salah satu komoditas yang dihasilkan dari bumi Pariaman. Dalam biografi Muhammad Saleh, Prof. Mestika Zed menuliskan:
“Ingat Pariaman, ingat garam. Begitulah lazimnya ingatan orang darek dimasa lalu terhadap bandar di pantai barat itu. Ini tidak salah juga, sebab kalau disigi balik jauh kebelakang, Pariaman sejak zaman kuno sebetulnya adalah penghasil garam utama. Tidak hanya untuk dataran tinggi darek  melainkan juga untuk diekspor sampai ke Aceh. Desa-desa sepanjang pantai Pariaman, terutama Naras dan Tiku di sebelah utara Pariaman, atau Ulakan dan Jambak di selatan, adalah penghasil garam utama di kawasan ini”.
Dari kutipan ini, kita bisa menerawang masa lalu akan kebesaran dunia maritim pantai barat Sumatera. Keberadaan garam sebagai salah satu kebutuhan pangan manusia, oleh masyarakat di pesisir pantai bisa diproduksi sendiri, bahkan komoditas ini di ekspor ke kerajaan (bandar) lain. Garam menjadi komoditas yang bersanding dengan hasil bumi lain, yang menjadi kebutuhan dikawasan lain. Sejumlah komoditas penting yang diekspor dari kawasan ini adalah kopi, kapur barus (kamper), kemenyan, lada, beras, kayu manis, gambir, kulit hewan ternak, getah karet, minyak kelapa, dan kopra. Adapun komoditas impor mencakup kain, garam, dan opium (Ingki Rinaldi; Pantai Barat Sumatera, Kejayaan Masa Silam. Kompas).
Swasembada garam di pantai barat Sumatera mengalami kemunduran setelah VOC memonopoli perdagangan garam. Tambak-tambak garam dimusnahkan oleh Belanda, sehingga sejak monopoli ini masyarakat Pariaman memproduksi dan mengonsumsi garam hanya untuk diri sendiri. Bisa jadi, kondisi terkini Indonesia yang kekurangan pasokan garam merupakan efek jangka panjang dari zaman kolonialisme Belanda. Monopoli dan pembatasan tambak produksi garam serta pengerdilan peran petani garam, sehingga masyarakat enggan untuk membudidayakan garam sebagai komoditas yang menggiurkan bagi roda perekonomian masyarakat.

Komentar

Postingan Populer