Media Framing Sebagai Senjata Asimetris “Si Lemah” (Studi Kasus Penyerangan Kapal Bantuan Kemanusiaan Misi Freedom Flotilla Ke Jalur Gaza) - 1

Framing
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/374150681523837163/












Oleh: 

Yandri Rama Putra

Perputaran dunia era postmodern semakin dinamis. Peristiwa politik, sosial budaya, ekonomi, perubahan iklim, perkembangan teknologi, dan bidang lainnya bergerak dengan pola yang kadang tidak selalu linier. Salah satu dampak dari dinamisasi ini adalah mencuatnya isu keamanan global berkaitan dengan upaya negara-negara dunia meneguhkan kekuasaannya. Pengalaman sejarah kita mencatat pertentangan kepentingan kehidupan manusia pada akhirnya menimbulkan peperangan.
Penjajahan Israel terhadap tanah Palestina merupakan peperangan dengan kekuatan militer yang masih berlangsung. Kekuatan asimetris positif (Israel) melawan asimetris negatif (Palestina) dengan garda petarungnya berasal dari organisasi HAMAS. Dunia menetapkan peperangan ini adalah tragedi kemanusiaan. Simpati dan empati dunia berupaya damai terwujud di tanah tiga agama ini. Salah satu bentuk empati dunia kepada Palestina adalah dengan pengiriman bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina melalui misi Freedom Flotilla (Mei 2010). Tetapi misi ini dijegal oleh militer Israel dengan menembak dan membajak rombongan kapal bantuan kemanusiaan, salah satunya kapal Turki Mavi Marmara yang berusaha menembus blokade jalur Gaza melalui jalur laut .
Penembakan dan pembajakan kapal misi kemanusiaan menjadi insiden yang menarik perhatian dunia. Secara asimetris, terjadi unjuk kekuatan asimetris positif dan negatif, salah satunya dalam ranah peperangan siber. Pertarungan dunia siber terjadi dalam peperangan informasi, antar kedua aktor berupaya memenangkan opini siapa yang salah dan benar. Dalam makalah ini, penulis akan memperdalam pembahasan peperangan informasi di ranah siber dalam kasus bantuan kemanusiaan Freedom Flotilla ke Palestina yang berupaya menembus blokade jalur laut Israel.

1. Memahami Peperangan Asimetris
Hari ini, peperangan tidak lagi tersekat dalam ruang pemahaman militer, medan tempur, dan persenjataan. Perang modern yang sedang berlangsung saat ini berada dalam ruang lingkup peperangan asimetris. Ahli strategi mendefenisikan peperangan asimetris sebagai konflik yang menyimpang dari norma yang berlaku, atau pendekatan tidak langsung untuk memberikan efek mengimbangi kekuatan lawan . Istilah lain dari peperangan asimetris lazim juga disebut dengan peperangan ireguler. Professor Friedrich August dan Frhr. Von der Heydte menggariskan peperangan irreguler dalam sebagai sesuatu yang tidak lazim oleh alam. Ini adalah perang yang dilancarkan di luar "konvensi," di mana "hukum dan norma" yang dibuat untuk perang konvensional tidak berlaku, atau hanya berlaku untuk tingkatan tertentu .
Dalam kajian pertahanan di Indonesia, peperangan asimetris menyerang sendi-sendi fundamental Indonesia. Perang yang memadukan cluster militer dan non-militer, astagatra, yang mencakup bidang geografi, SDA, SDM, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, merupakan objek yang diserang melalui peperangan asimetris. Jadi, peperangan ini sebagai upaya melemahkan aktor negara dengan tujuan meraih kekuasaan dan kekuatan.
Peneliti dan pakar dalam strategi perang mengklasifikasikan peperangan asimetris sebagai perang generasi ke-4. Bertindak sebagai pelaku dalam peperangan ini yaitu aktor negara versus aktor non-negara. Jika menilik kepada strategi Revolution in Military Affair, dengan landasan DOTS (doktrin, organisasi, teknologi, dan strategi), pada peperangan asimetris semuanya mengalami perubahan. Perubahan terjadi secara ekstrim, strategi serangan yang mematikan; improvisasi pola komando, kontrol, dan intelijen; peperangan informasi; dan pola yang tidak normal sehingga susah untuk diprediksi . Walaupun pelaku non-negara tidak memiliki massa yang besar dan tidak berpola, tetapi konsep DOTS ini mendukung aktor negara menganalisis pola dan kekuatan lawan. Melihat revolusi dunia militer yang digunakan oleh aktor non-negara membantu negara untuk memprediksi dan menangkal serangan dari arah yang tidak bisa diprediksi.
Pengembangan dari ancaman asimetris ini kemudian dikenal dengan adanya terminologi “hard power” dan “soft power” sebagai alat untuk “memukul” lawan, dalam hal ini adalah aktor negara. Profesor Joseph Nye dari Harvard University menciptakan istilah "soft power", yang dia sebut sebagai "kemampuan untuk membentuk preferensi orang lain" dan "membuat orang lain menginginkan hasil yang Anda inginkan” . Sedangkan “hard power” bisa kita nalar dari rangkaian sejarah perang umat manusia dari zaman kuno hingga saat ini. Gabungan dari kedua jenis kekuatan ini disebut dengan “smart power” dan pelaku peperangan asimetris menggunakan cara ini untuk menciptakan instabilitas negara.
Cakupan dari perang asimetris ini bersifat hibrid, jenis dan strategi yang dimodifikasi dari cara lama dengan metode kekinian. Saat ini peperangan asimetris yang terjadi dan sudah menjadi kajian secara akademik oleh ahli pertahanan diantaranya adalah terorisme, insurjensi, perang siber, perdagangan gelap narkotika, perdagangan manusia, peperangan ekonomi dan berbagai aspek astagatra lainnya yang bisa dilemahkan oleh kekuatan asimetris negatif.
Bersambung
x

Komentar

Postingan Populer