Media Framing Sebagai Senjata Asimetris “Si Lemah” (Studi Kasus Penyerangan Kapal Bantuan Kemanusiaan Misi Freedom Flotilla Ke Jalur Gaza) - 2
Oleh:
Yandri Rama Putra
1. Cyber warfare. Cyber space, dan Perang Informasi
Cakupan
perang asimetris dengan intensitas yang tinggi dan saat ini terjadi yaitu
peperangan siber. Peperangan siber atau cyber
warfare yaitu perang yang memanfaatkan cyberspace
untuk mencapai tujuan tertentu[1]. Sedangkan
Steve Winterfeld mengambil defenisi peperangan siber dengan memaknai defenisi cyberspace yang dicantumkan DoD
(Department of Defense USA) dalam Joint
Publication 3-13 Information Operations 13 February 2006. DoD
mendefenisikan cyberspace dengan
domain yang ditandai dengan penggunaan perangkat elektronik dan spektrum
elektromagnetik untuk menyimpan, memodifikasi, dan melakukan pertukaran data
melalui sistem jaringan dan infrastruktur fisik terkait[2].
Dari dua defnisi mengenai dunia siber ini, bisa kita simpulkan bahwa peperangan
siber berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang terkoneksi jaringan elektronik
untuk mencapai tujuan tertentu; mendapatkan informasi, data, atau menghancurkan
sumber data.
DoD
Amerika Serikat mengidentifikasi lima kapabilitas inti yang mendukung
peperangan siber; operasi pskologis, military
deception, operasi keamanan, operasi jaringan komputer, dan peperangan
elektronik. Kemampuan ini saling bergantung, dan semakin terintegrasi untuk
mencapai efek yang diinginkan[3].
Kelima inti dari perang siber ini bagi aktor non-negara dimanfaatkan untuk
pertarungan di medan tempur fisik. Ruang fisik manusia dalam bentuk perangkat
elektronik hampir semuanya terkoneksi dengan jaringan internet, baik di darat,
laut, udara dan dunia maya[4]
itu sendiri. Inilah ruang bertempur perang siber dengan jangkauan yang luas dan
lintas batas negara. Konflik manusia terkumpul dan disebarkan ke berbagai aktor
melalui ruang siber.
Salah
satu bentuk peperangan informasi seperti yang disebutkan adalah Psychological Warfare. Martin Libicki
menyebutkan peperangan psikologis dalam perang informasi ini ditujukan untuk
memengaruhi pikiran lawan, pikiran mereka yang tak memihak dan tentunya musuh[5].
Salah satu senjata yang digunakan dalam peperangan psikologis ini adalah media framing. Menurut Robert M. Entman, framing adalah memilih beberapa aspek
dari realitas yang dirasakan dan membuatnya lebih menonjol sedemikian rupa
dalam teks komunikasi untuk mempromosikan definisi masalah tertentu,
interpretasi lepas, evaluasi moral dan / atau rekomendasi cara untuk pokok
penjelasan[6]. Dalam
perkembangan majunya dunia siber, ketergantungan manusia akan informasi yang
berjalan secara real time merupakan
sebuah keniscayaan dan persepsi publik menjadi senjata dalam konteks peperangan
asimetris untuk melemahkan aktor negara atau non-negara.
Dimensi
peperangan asimetris lain, seperti terorisme, insurjensi, perdagangan gelap,
perang ekonomi, menjadi semakin kompleks dengan keberadaan dunia siber. Isu
keamanan, politik, hukum, dan kemanusiaan mendapat tantangan lebih berat.
Sesuai dengan prediksi van Creveld mengenai komponen perang masa depan,
"di masa depan, perang tidak akan dilancarkan oleh tentara tapi oleh
kelompok yang sekarang kita sebut teroris, gerilyawan, bandit, dan perampok.
Peperangan tidak lagi dimotivasi oleh "profesionalisme” kesetiaan fanatik
dan ideologis menjadi corak yang dominan dari peperangan masa depan ini[7]. Pertarungan
siber untuk meraih kekuatan antara asimetris kuat dan asimetris lemah, antara
aktor negara (pemerintah – militer) dengan non-negara (warga negara, organisasi
kriminal, dan lain sebagainya).
Cyber culture, cyber war Sumber: https://id.pinterest.com/pin/179862578848807871/ |
2. Asimetris Lemah Untuk Asimetris
Kuat
Pada
makalah ini penulis akan memperdalam praktek asimetris bagi si ‘lemah’ dalam
rangka melawan si ‘kuat’ dalam ranah peperangan informasi. Sebelum memperdalam
dalam contoh kasus, defenisi siapa ‘kuat’ dan ‘lemah’ mesti dipahami dulu
dengan benar, sehingga kita bisa mengetahui seperti apa pola yang digunakan
masing-masing pihak. Breen dan Geltzer memberikan tuntunan awal dengan,
“Strategi asimetris mengubah kekuatan yang dirasakan lawan menjadi kerentanan,
seringkali dengan mengungkapkan kerentanan yang dirasakan seseorang sebagai
kekuatan[8]”. Lebih
lanjut Breen menjelaskan, strategi asimetris merupakan bentuk yang berelasi
inheren satu sama lain dengan mengeskploitasi kekeliruan persepsi lawan.
Keterampilan dan kecerdikan memanfaatkan peluang merupakan atribut yang
dibutuhkan dalam strategi asimteris dan hal ini dimiliki oleh yang lemah atau
yang kuat[9].
Dari
defenisi diatas memberikan pemahaman, bahwa kekuatan asimetris lemah dan
kekuatan asimetris kuat berada dalam ruang pemahaman yang sangat relatif. Bisa
jadi, ketika kekakuan dan formalnya strategi militer negara adalah sebuah
kekuatan yang lemah untuk melawan aktor negara, sehingga jalan yang dipakai
berdasarkan strategi tunggal dan cara ini telah ditemukan kelemahannya.
Sebaliknya, aktor non-negara merupakan sosok asimetris kuat karena strategi
yang fleksibel dan menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan strategis. DOTS
menjadi titik krusial untuk menentukan kekuatan strategi asimetris dalam dinamika
RMA di pertempuran ireguler.
[1] Firman Munthaha. Mengenal Cyber War Dalam Dinamika Konflik
Asimetris. Dalam kumpulan jurnal,”Terorisme, Insurjensi, dan Peperangan
Cyber”. 2014. Jakarta: Dapur Buku. Hal 26
[2] Steve Winterfeld & Jason
Andreas. The Basics of Cyber Warfare;
Understanding the Fundamentals of Cyber in Theory and Practice. 2013. Elsevier
Inc.
[3] Clay Wilson. Information Operations, Elctronic Warfare,
and Cyberwar: Capabilities and Related Policy Issues. 2007. CRS Report for
Congress
[4] Steve Winterfeld & Jason
Andreas. 2013
[5] Dr. Yono Reksoprodjo. Perang Informasi dala Perang Asimetrik. Makalah
materi mata kuliah AWD prodi peperangan asimteris, UNHAN. 2017
[6] Karman. Media Massa dan Konstruksi Realitas; Analisis Framing Terhadap
Pemberitaan SKB Menteri Tentang Ahmadiyah di Indonesia pada Surat Kabar Harian
Suara Pembaruan dan Republika. Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Vol 17
No. 2 Desember 2013. Hal 175
[7] Eric J. Schnitzer. Perfecting
War: Searching for the Silver Bullet. Hal 276 (6)
[8] Michael Breen and
Joshua A. Geltzer. Asymmetric Strategies as Strategies of the Strong. Spring:
2001. Hal. 42
[9] Ibid. Hal. 43
Komentar
Posting Komentar