Agus Salim dan Pendidikan Non Formal

Masjudul Haq, nama ini mungkin banyak yang tidak tahu, tapi nama ini merupakan sosok penting bagi Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Agus Salim, namanya yang lebih tersohor. Pria ini terkenal dari banyak sisi, tokoh sentral SI, diplomat, menteri dan berbagai eran lainnya bagi republik ini. Ada banyak hal menarik yang dibahas dari sosok Agus Salim, salah satunya dari keunikan keluarganya. Pola pendidikan anak-anak Agus Salim menarik jika dibahas, cara dia mendidik anak sesuatu yang tidak lazim pada zamannya. Zaman modern ini lebih dikenal dengan pendidikan 'homeschooling'.
Putri ke tujuhnya, Siti Asiah atau Bibsy putri Agus Salim mengutarakan, seumur hidupnya tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Enam saudaranya yang lain juga tidak menempati bangku sekolah formal. Hanya anak bungsu, Mansur Abdur Rachman Ciddiq yang menempuh pendidikan di sekolah formal. Tidak ada kelas dan jam pelajaran yang mengikat tehadap tujuh anaknya.
Keputusan mendidik anak dirumah ini dianggap aneh oleh kerabat dan tetangganya. Anak yang tidak bersekolah formal dipandang aneh dan tak wajar. Apalagi Salim terpelajar dan lulusan pendidikan tinggi, Hogere Burger School.
Alasannya mendidik anak dirumah amat ideologis. Pada saat itu, ia menganggap pendidikan saat itu adalah pendidian kolonial. Dia tidak ingin anak-anaknya dicekoki pemikiran dan kebudayaa  penjajah. Pendidikan diskriminatif juga menjadi alasan untuk menerapkan pendidikan rumahan untuk anak-anaknya. Pemberian nilai rendah bagi anak-anak pribumi salah satu contohnya, walaupun anak tersebut memiliki kemampuan dan kecerdasan.
Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang juga keponakan Agus Salim mengatakan bahwa Agus Salim menilai sekolah Belanda buka  mendidik kemandirian jiwa melainkan kepentingan penjajah. " Jiwa tak diberi kebeasan tumbuh sesuai dengan jiwa masing-masing anak didik" ungkap Emil Salim.
Model homeschooling ala Salim dan istrinya: memberi pelajaran kepada anak-anak sejak mereka dilahirkan. Anak-anaknya sudah diajak berbahasa Belanda sejak bayi. Bahasa Belanda bagi Salim amat penting. Mohamad Roem memberikan kesaksian, suatu hari Ahmad Sjauket Salim yang berumur 4 tahun meminta ayahnya menggaruk punggunya dalam bahasa Belanda.
Setelah anak-anaknya bisa berbhasa Belanda, anak-anaknya diajarkan dasar-dasar membaca, menulis, dan berhitung. "Pelajaran membaca dan berhitung disampaikan dengan santai, seolah sedang bermain", ungkap Bibsy. Salim dan istri mengajar dengan memberi tahu sesuatu, bercerita, dan menyanyikan lagu yang liriknya sajak-sajak pujangga dunia. Pelajaran sejrah, disampaikan seperti membacakan cerita. Dengan begitu, Bibsy tertarik mencari ilmu sendiri lewat berbagai cara, termasuk lewat buku yang tersedia di rumah.
Agus Salim menerapkan sikap terbuka dan memberikan bimbingan sebaik-baiknya dalam mendidik anak. Selalu ada waktu yang disediakan khusus untuk mendidik anak ditengah kesibukannya sebagai politisi dan pejabat negara. Ia tidak keberatan dibantah. Ia tak akan berhenti menerangkan persoalan sebalum anak-anaknya paham.
Sambil makan, dia bercerita hingga berjam-jam. " karena pandai berhumor, pembicaraanya memikat dan tidak membosankan. Salim juga melarang istrinya untuk memberikan kualifikasi kepada anak-anaknya, misal 'kamu nakal' atau 'kamu jahat'. Prinsip dasarnya membuat anak-anak menjadi senang dan bukan semata-mata membuat mereka pintar.
Hasil dari pendidikan ini, anak-anak Agus Salim meraih sukses. Putri sulung, Theodora Atia, aktif dalam gerakan Wanita Islam dan organisasi Lembaga Indonesia Amerika. Anak kedua, Jusuf Taufik Salim, pernah bekerja di Inter Vista, sebuah biro iklan dan kemudia  menjadi penerjemah. Islam Basari Salim, anak keenam, menjadi tentara dengan pangkat kolonel dan pernah menjabat atase militer Indonesia di Cina.
Bibsy, putri bungsu, bekerja di sebuah perusahaan asuransi sebelum menikah dengan Soenharjo, mantan konsul di Jepang. Bibsy juga pernah bekerja di perusahaan asing dan dikenal juga sebagai penyair. Antologi Hearts and Soul diterbitkan pada tahun 1998, kumpulan puisi yang ditulisnya sepanjang 1962-1998. Menariknya dari antologi ini, dari 50 sajak, 11 sajak ditulis dalam bahasa Indonesia, 2 dalam bahasa Prancis, dan sisanya dala bahasa Inggris. Bibsy memang seorang poliglot, seperti halnya ayahnya yang menguasai 9 bahasa asing.
Disarikan dari
'Agus Salim; Diplomat Jenaka Penopang Republik. KPG'
H. Agus Salim
Sumber: Tirto.id

Komentar

Postingan Populer