Masjumi dan Jalan Politiknya
Keberadaan Masjumi sebagai partai politik di Indonesia memiliki tempat khusus dari sejarah bangsa ini. Muncul disaat anak bangsa ingin merdeka dibawah keputusan Jepang dan bernama Majelis Islam A'la Indonesia yang kemudian menjadi Masjumi. Hal ini kontroversi awal keberadaan Masjumi yang dipandang sebagai alat Jepang agar bisa tetap bercokol di Indonesia. Masjumipun memanfaatkan kondisi ini untuk mempersiapkan kemerdekaan negara yang sesuai dengan cita-cita mereka.
Perkumpulan yang dimanfaatkan oleh Jepang ini berkembang memperluas jaringannya hingga ke daerah-daerah. Masjumi Jepang ini dipimpin oleh beberapa ulama kharismatik seperti KH Hasyim Asyari, KH Abdul Wahab, Ki Bagus Hadikusumo sebagai upaya menarik simpati masyarakat. Setelah kemerdekaan, ulama-ulama ini menjadi bagian dari partai Masjumi.
Cita-cita ingin menjadikan Indonesia negara Islam merupakan fragmen dari jejak partai Masjumi. Gerak partai ini menjadikan Indonesia negara Islam tertuang dalam piagam Jakarta. Dalam proses pematangannya kata-kata yang mengatur pelaksanaan syari'at Islam terjadi penolakan dalam sidang kedua BPUPKI. Akhir dari tuntutan ini adalah kesediaan wakil Islam dalam struktur PPKI mencabut tuntutan penerapan syari'at Islam dalam negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Penghapusan prinsip ini menjadi nyawa dalam pembentukan identitas awal Masjumi dan energi dalam mengarungi perpolitikan Indonesia yang masih hijau.
Identitas ini tidak menjadi sesuatu yang baku dalam tubuh Masjumi. Remy Madinier dalam buku "Partai Masjumi; Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral" mencoba menghadirkan jalan panjang perjalanan Masjumi dalam kancah politik Indonesia. Sebagai partai besar pada awal kemerdekaan, sikap dan kebijakan Masjumi tercatat tidak selalu berada pada pakem mendirikan negara Islam.
Ketika terjadi pemberontakan DI/ TII dan PRRI yang ingin mendirikan negara Islam, sikap Masjumi berada dalam ranah abu-abu. Natsir sebagai pimpinan partai dan juga bagian dari pemerintah lebih memilih jalan diplomasi untuk meredam pemberontakan. Oleh lawan politik sikap ini menunjukkan politik dua kaki, karena mayoritas penggerak perlawanan di daerah-daerah adalah tokoh-tokoh yang lekat dengan identitas Masjumi. Bisa kita sebut Kartosoewirjo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh dan Sjafruddin Prawiranegara sebagai petinggi Masjumi juga bergabung bersama pemerintahan Revolusioner di pedalaman Sumatera.
Madinier juga menyoroti kebijakan-kebijakan Masjumi dalam pemerintahan. Saat negara menghadapi agresi militer, adakalanya kebijakan Masjumi berseberangan dalam pengambilan keputusan dalam perjanjian dengan Belanda di Linggarjati. Tapi saat perjanjian Roem-Royen, Mr. Roem bahkan mewakili Indonesia dalam proses perundingan, notabenenya Roem adalah petinggi di Masjumi.
Kebijakan lainnya yang diterapkan Masjumi adalah dengan membentuk organisasi-organisasi underbouw. Organisasi khusus yang dibentuk seperti Sarekat Tani Islam Indonesia, Sarekat Buruh Islam Indonesia, Sarekat Nelajan Indonesia. Tujuan dari organisasi khusus ini sebagai upaya mempertegas bahwa Masjumi berdiri tidak diatas landasan elit. Seperti serikat Nelajan bertujuan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan nelayan dan mempertinggi taraf pendidikan nelayan terutama dalam pengajaran penangkapan ikan. Keberadaan organisasi-organisasi ini merupakan upaya konkret perwujudan program Masjumi.
Rekam jejak kepemimpinan Masjumi juga menjadi pembahasan oleh penulis. Dibalik kebesaran Masjumi yang memayungi organisasi-organisasi besar Islam, kepemimpinan Masjumi memiliki kerapuhan. Kerapuhan ini bisa ditebak dari latar organisasi petinggi Masjumi. Soekiman, ketua umum pertama Masjumi memiliki kedekatan dengan kalangan Islam tradisional dan lebih cair dalam komunikasi politik. Berbeda dengan M. Natsir yang berlatar belakang dari Persatuan Islam, lebih kritis terhadap aliran Islam tradisionalis. Perbedaan ini salah faktor pemicu berpisahnya NU dari Masjumi pada tahun 1952.
Masjumi yang secara definitif bubar pada Oktober 1960 bagi banyak orang menyisakan pertanyaan, apa yang menjadi penyebab pemerintah membubarkan Partai Islam ini. Landasan argumen yang sudah lazim kita dengar adalah diberlakukannya demokrasi terpimpin sehingga Masjumi harus disingkirkan agar keputusan ini berjalan dengan baik. Masjumi tidak sendiri menjadi partai terlarang, PSI besutan Sjahrir juga menjadi 'korban' keputusan Presiden Soekarno.
Buku ini penting menjadi pegangan dalam memahami politik Indonesia dan kiprah partai Islam saat awal kemerdekaan. Penulis membangun konstruksi dinamisasi Masjumi dalam serpihan yang detail dan lengkap dengan analisis yang mengantarkan nalar kita melihat Masjumi pada eranya. Kita dipaparkan bagaimana menghimpun kekuatan di tengah kondisi bangsa yang masih bayi. Kita juga diajarkan bagaimana membentuk tata kelola partai dan organisasi yang modern dan profesional. Dari sejarah Masjumi kita belajar menjadi 'kuat dan besar' dengan idealisme yang rasional ditengah keberagaman politik Indonesia.
Jas Merah....
Yandri Rama
Judul : Partai Masjumi : Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral
Penulis: Remy Madinier
Penerbit: Noura Book Publising
Tanggal terbit: Agustus - 2013
Jumlah Halaman: 488
Kategori: Islam dan Politik
Text Bahasa : Indonesia
Komentar
Posting Komentar