Masjumi dan Lawan Politik

Islam sebagai agama merupakan agama yang menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan juga dalam kehidupan bernegara. Salah satu fragmen fenomenal Islam adalah ketika menjadi kontributor dalam dunia politik. Kita bisa melihat ini pada salah satu partai politik islam pada awal merdekanya Indonesia yaitu Partai Masjumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Fenomenal pertama yang bisa kita lihat dari Masjumi terlihat ketika partai ini menjadi bangunan besar yang menaungi berbagai elemen muslim Indonesia. Tercatat dalam sejarah Indonesia, Masjumi berdiri diatas sokongan ormas Islam yang mengakar; Syarikat Islam, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Perti, dan ormas-ormas lain yang tesebar diberbagai wilayah di republik yang baru merdeka pada tahun 1945.
Partai dengan cikal bakal dari MIAI (Majelis Islam ’Ala Indonesia) pada saat penjajahan Jepang dan kemudian bertransformasi menjadi Majelis Sjuro Moeslimin Indonesia berumur tidak lebih dari 15 tahun. Dalam kiprahnya di dunia politik Indonesia banyak bagian dari sejarah Masjumi yang bisa kita ulik. Masjumi terpandang dengan politik Islam yang mengakar, sehingga pada awal kemerdekaan di kalangan elit politik terjadi pertentangan terkait dengan pilihan menjadikan Islam sebagai dasar negara atau Pancasila dan Nasionalisme sebagai pondasi penegak NKRI.
Walaupun pada akhirnya elit politik Masjumi bersepakat untuk bersama membangun Indonesia berlandaskan Pancasila, dalam perjalanannya pertentangan elit dan antar kader partai tetap menjadi warna dalam dinamisasi politik republik yang baru merdeka. Pertentangan-pertentangan ini ada yang bersifat substantif ada juga pertentangan yang seharusnya tidak menjadi bahasan utama, kira-kira itulah analisis Remy Madinier dalam "Partai Masjumi; Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral."
Seteru Dalam Wacana dan Propaganda
Salah satu pertentangan dengan lawan politik yang tampak nyata ditengah perkembangan demokrasi liberal adalah antara kader Masjumi dan kader PKI. Bagi Masjumi menentang ideology komunis semacam prinsip dasar dan menjadi identitas politik Masjumi. Perdebatan dengan pesaing sesama partai Islam tidak menjadi agenda utama Masjumi. Dengan mengambil sikap tegas ini, Masjumi berharap bisa berdiri untuk kepentingan muslim dan mencitrakan diri menjadi benteng menghadapi perkembangan komunisme di Indonesia. Dikalangan petinggi Masjumi, pada tanggal 16 Desember 1954 Rais Aam NU yang juga pimpinan pusat Masjumi, KH Abdul Wahab Hasbullah menegaskan bahwa akan sangat berbahaya kalau sampai kaum komunis berhasil meraih kekuasaan di Indonesia. Jika komunis berhasil meraih kekuasaan maka ruang gerak umat muslim akan sangat terbatas.
Pernyataan KH Abdul Wahab ini merujuk kepada realita negara yang menerapkan komunisme, masalah keberagamaan diatur dan malah dibatasi. Oleh karena itu, ideologi ini selalu menjadi pertentangan antara muslim dan golongan komunis hingga mengakar sampai ke akar rumput kader kedua partai ini. Muhammad Natsir, ketua Masjumi dan juga pernah menjabat sebagai perdana menteri didalam Das Capital juga memberikan pandangannya terhadap komunisme.
”Akibat komunisme itu menghilangkan individuliteit, -kedudukan perseorangan,-“ begitu awal pembahasan akibat komunisme. Selanjutnya Natsir memandang praktek komunisme di Rusia mungkin sekali tidak ada lagi kemelaratan. Akan tetapi untuk itu kepribadian manusia menjadi hilang, kemerdekaan pribadi dikungkung dan ditekan dengan alat-alat kekuasaan, ungkap Natsir. Rasionalisasi yang dibangun oleh pimpinan Masjumi ini menjadi prinsip yang diamini oleh kader Masjumi dan membawakannya sebagai propaganda untuk menentang keterlibatan PKI dalam koalisi pemerintahan dan menghambat laju berkembangnya arus politik komunis di Indonesia.
Jusuf Wibisono, pada sebuah kesempatan pidato di Tanjung Priok pada Maret 1954 menyatakan bahwa agama dan komunisme mustahil bisa sejalan dan berkompromi. Pernyataan ini mengemuka untuk merespon pernyataan Aidit bahwa, Indonesia harus menjadi "taman dimana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis dan bersama-sama berjuang bahu-membahu untuk menghancurkan imperialisme". Dalam hal ini Aidit tampak menggunakan terminologi toleransi antar umat beragama sebagai upaya mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Pernyataan ini juga upaya membiaskan citra PKI sebagai partai yang berlandaskan totalitarianisme sepert halnya penerapan komunis di Soviet dan RRC.
Bentrok Fisik
Perseteruan dua partai ini juga menyasar kepada arah dukungan terhadap dua blok besar yang juga tidak kalah hebat seterunya. PKI menuding bahwa keberadaan Masjumi didukung oleh kekuatan asing dari Amerika dan negara sekutu sebagai blok barat. Pun begitu sebaliknya, PKI oleh Muchtar Chazaly, ketua pengurus cabang Masjumi Sukabumi mengatakan PKI adalah agen-agen luar negeri komunis internasional. Pernyataan Muchtar ini diambil kebiasaan-kebiasaan PKI dalam mengadakan rapat dan pertemuan dimana mereka selalu memajang foto tokoh komunis internasional seperti Mao Tse Tung, Malenkov dan tokoh komunis lainnya.
Peseteruan inipun menyasar ke dalam bentuk insiden bentrokan fisik. Media cetak Masjumi, Abadi, memuat berita bentrok fisik yang terjadi di Malang pada 28 April 1954. Saat itu PKI mengadakan rapat yang dihadiri Sekretaris I PKI, D.N. Aidit. Dalam pidatonya, Aidit menyatakan bahwa PKI anti-kapitalis dan anti-imperialis serta menyatakan bahwa PKI tidak anti-agama. Aidit malah menegaskan bahwa Masjumi-lah yang merusak agama. Rapat yang didatangi partisan Masjumi membuat kalangan partai Islam ini mengamuk dan mengepung Aidit supaya beliau turun dari podium serta meminta maaf. Aiditpun meminta maaf tapi dalam permintaan maafpun masih mengandung unsur provokasi dengan tetap bersikukuh bahwa PKI tidak anti-agama. Massa Masjumi-pun kembali menggelora menuding perkataan Aidit adalah dusta.
image
Pertentangan Masjumi dan PKI ini juga terlihat meruncing ketika Isa Anshari, ketua Masjumi Jawa barat memprakarsai terbentuknya fron Anti-Komunis sebagai alat menyerang PKI. Melalui ceramah-ceramah, media cetak front ini menyuarakan penolakannya terhadap ideologi komunis yang berbentuk partai komunis. Meskipun demikian, Front Anti-Komunis ini oleh M. Natsir dianggap bukan bagian dari Masjumi. “Meski sejumlah anggota Masjumi bergabung dengan Front Anti-Komunis, organisasi itu tak memiliki ikatan apapun dengan partai Islam,” tulis Natsir dalam koran Abadi, 30 Desember 1954.
Seteru antara partai Islam dan PKI ini berkepanjangan, berbeda dengan 'saudara' dekat yang dulunya merupakan bagian fundamental Masjumi juga, Nahdatul Ulama. NU lebih membuka diri terhadap PKI dan bersedia untuk berkoalisi setelah memisahkan diri dari Masjumi pada tahun 1954. NU terlihat lebih bermain ‘aman’ dan pragmatis ketika bertemu dengan lawan politik bersama kawan lama di Masjumi, PSII. Sikap ‘kepala batu’ Masjumi terhadap lawan politiknya terutama PKI akhirnya menjadi korban politik Soekarno demi revolusi. Masjumi dibubarkan berdasarkan Keppres No.200/ 1960, yang diumumkan pada 17 Agustus 1960 dan tokoh-tokohnya dipenjarakan.
Sekeras-kerasnya kader Masjumi terhadap PKI, sebagian yang lain masih berusaha untuk menghindari risiko bentrokan langsung. Umar Suriatmadja, pimpinan Masjumi Bandung kerap mengundang anggota PKI dalam acara pesta keluarga ataupun dalam perayaan agama. Bahkan Natsir dan Aidit kerap terlihat minum teh dan diskusi di kantin gedung parlemen. Bagi sebagian kader Masjumi masih berusaha membuat garis pemisah antara pertentangan ideologis dan pertentangan dalam bentuk bentrokan langsung seperti yang terjadi pada sebagian kader Masjumi yang di pandang temperamental dan reaktif.
Membuyarnya Agenda Besar
Soekarno sebagai presiden RI pada tahun 1960 mengeluarkan Keppres No. 200/ 1960 tentang pembubaran Partai Masjumi, membuyarkan agenda Masjumi sebagai partai politik dengan mengusung kepentingan umat Islam. Dalam surat keputusan Presiden RI ini Masjumi di dakwa melakukan pemberontakan dan memberikan bantuan kepada PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Di tubuh PRRI memang terdapat petinggi Masjumi, diantaranya adalah Sjafruddin Prawiranegara. Selain itu, Remy Madinier menuliskan bahwa pembubaran  Masjumi dilakukan karena partai ini dianggap tidak tegas melawan pemberontak yang bermarkas di Sumatera ini. Prawoto Mangkusasmito pada Februari 1952 atas nama Masjumi menyampaikan nota protes kepada pemerintah atas tindakan “Tentara-centrische” untuk meredam pemberontakan. Dalam kesempatan pidatonya di Medan pada bulan Desember 1953, M. Natsir mengecam kepada mereka yang berniat ‘jadikan segala-galanya tempat jihad’ yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang melawan pemerintah. Pada akhirnya Natsir-pun turut terlibat dalam PRRI dan dalam persembunyiannya di Sumatera mengirimkan pesan agar namanya tidak dikaitkan lagi dengan Masjumi. Pesan ini bertujuan agar partai tidak dianggap terlibat dalam pemberontakan.
Keputusan Presiden RI mengandaskan jalan partai berbasis Islam ini. Sebagian menganggap keputusan ini kontroversi karena sebuah konsekuensi dari penerapan demokrasi terpimpin, dimana Nasakom menjadi jargon pemerintah yang ditolak oleh Masjumi. Dalam koalisi pemerintah yang akan memadukan Nasionalisme, Agama, dan Komunis oleh Masjumi dianggap tidak akan bisa terlaksana. Sebagian besar kader Masjumi menolak untuk bekerjasama dalam koalisi dengan PKI seperti pertentangan-pertentangan yang terjadi diatas. Di proklamasikannya Pemerintah Revolusioner dan turut bergabungnya beberapa pimpinan Masjumi merupakan momentum yang tepat oleh Presiden untuk membubarkan Masjumi. Hasilnya, partai bubar dan mimpi untuk memadukan Islam dan modernitas dalam bernegara kandas. Pasca jatuhnya Orde Lama, Masjumi mencoba melakukan merehabilitasi namanya dan turut berkecimpung lagi dalam perpolitikan Indonesia. Tapi, pemerintahan Soeharto menolak mencabut Keppres No. 200/ 1960 ini dan selamanya Masjumi tidak bisa kembali dalam kancah politik Indonesia.

Komentar

Postingan Populer