Surau dan Perkembangan Manusia Minangkabau

Minangkabau merupakan entitas budaya Indonesia dengan nilai khas dan berbeda dengan entitas budaya etnis lain. Berbicara Minangkabau kita tentunya sudah akrab dengan diksi matrilineal, hukum adat, merantau, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, surau dan istilah lain yang menjadi identitas etnis ini.  Salah satu bagian unik yang sudah menjadi satu bagian dari Minangkabau adalah surau. Surau tempat beribadah muslim yang ukurannya lebih kecil dari masjid, di daerah lain lazim disebut dengan mushola. Pembeda surau dengan mushola tampak dari fungsinya. Zaman dulu, surau adalah rumah, madrasah, tempat berlatih dan mengaji bagi pemuda Minang. Surau adalah tempat menggodok pemuda Minang yang sudah akil baligh, mereka tidak lagi diperkenankan lalok di katiak amak (tidur di rumah orang tua).
Pembahasan tentang surau sepertinya memiliki wacana yang luwes untuk dikaji. Hasil dari penglihatan soal surau ini bisa kita arahkan simpulan pembentukan manusia Minangkabau. Dari sisi sejarah kita membahas rentang waktu eksistensi surau, dari siapa, kapan dan untuk apa surau hadir. Sudut pandang sosiologis kita bisa memahami korelasi keberadaan surau dengan realita kehidupan masyarakat. Dalam kacamata antropologi dapat kita melihat manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh surau. Pada arsiteknya pun kita akan mendapat informasi menarik menyoal surau ini.
Surau Dalam Rentang Sejarah
Minangkabau identik dengan Islam dan penyokong identitas ini adalah adanya surau dalam lingkungan suatu kaum. Tapi jika kita bisa menelusuri, surau ternyata bentuk akulturasi budaya hindu dan Islam. Surau merupakan milik kaum dengan fungsi awalnya sebagai asrama bagi laki-laki bujangan dan duda. Fungsi ini kemudian berkembang tidak hanya sebagai asrama.
Wisran Hadi menuliskan, surau berasal dari kata Surawa. Kata ini berasal Sarawasa atau Swarwa yang telah dikenal saat raja Adityawarman berkuasa. Saruaso atau dalam bahasa lamanya Sarawasa diartikan tempat yang khusus dibuat untuk pertapaan. Secara istilah, surau, sarawasa atau swarwa berarti segala, semua, macam-macam. Maksudnya adalah tempat dimana kita bisa melakukan segalanya dalam hal ini pendidikan, pengetahuan dan pengembangan diri.
Batu Bapaek menjadi bukti sejarah surau. Batu Bapaek adalah sebuah saluran air yang melewati batu yang dipahat untuk mengairi persawahan. Pada pahatan batu saluran air tersebut ditemukan tulisan kuno tentang raja Adityawarman, yang bagi ahli sejarah disebut sebagai Prasasti Saruaso I. Dalam struktur komplek Istana Pagaruyung, surau memiliki tempat tersendiri yang terpisah dari Rumah Gadang.
Sejarah lain dari cikal bakal surau adalah Masjid raya Limo Kaum, berlokasi di Jorong Balai Batu Tanah Datar, konon merupakan tempat pertapaan sebelum Islam masuk di Minangkabau. Masjid yang berdiri sekitar pertengahan Abad ke-17 ini diperkirakan salah satu cikal bakal surau setelah masuknya Islam. Surau yang menjadi tempat bertapa bagi orang Minang zaman Hindu-Budha beralih fungsi menjadi tempat sholat, secara harfiah, setelah ajaran Islam ada di Minangkabau.
Bentuk dari bangunan Masjid ini tampak adanya sinkretisme budaya, antara budaya Hindu-Budha dan Islam. Atap yang menjulang dari masjid ini lebih menyerupai pagoda, memiliki tingkatan.  Awal mula bangunan surau ini masih berupa bangunan dengan alas batu tanpa dinding dan atap. Masuknya Islam membawa perubahan terhadap keberadaan surau dan beberapa kali lokasi surau ini dipindahkan. Karena semakin banyaknya pemeluk Islam dan kapasitas surau tidak memadai, secara swadaya surau ini dibangun dan beralih fungsi menjadi masjid raya Limo Kaum. Hal ini sesuai dengan adat Minang yang bersifat terbuka dan termaktub dalam mamangan Nan elok dipakai, nan buruak dibuang (yang baik dipakai, yang buruk dibuang). Ketika Islam masuk dan menjadi jalan hidup orang Minang, keberadaan surau bertahan dan fungsinya berkembang menjadi wadah kaderisasi pemuda Minang.
Surau menjadi pusat pendidikan di Minangkabau, sama halnya dengan di pulau Jawa dengan konsep pesantren. Masuknya Islam ke wilayah Sumatera yang dibawa oleh pedagang, kerap menjadikan surau sebagai tempat persinggahan. Dari sinilah, Islam mulai berbaur dan diterima oleh masyarakat Minangkabau. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat tinggal anak bujang dan duda, surau memiliki fungsi baru sebagai lembaga pendidikan. Dimana ilmu agama Islam menjadi pokok ajaran surau. Bangunan yang dimiliki oleh kaum ini menjadi sentra berkembangnya tarekat yang mengajarkan ilmu tasawuf. Melalui tarekat (persaudaraan muslim), pengajaran Islam berjalan tanpa menimbulkan gesekan dengan tradisi yang sudah ada pada masyarakat perdesaan. Tarekat yang terkenal dan berkembang pesat di Minangkabau adalah Tarekat Naqsabandiyah,  Tarekat Syattariyah dan Tarekat Qadiriyah.
Surau Ulakan merupakan bangunan saksi berkembangnya tarekat Syattariyah di Pariaman dan pantai barat Sumatera. Dibawa oleh Syekh Burhanuddin, murid Nuruddin Ar-Raniri, Surau Ulakan menjadi sentral pengajaran Islam di pantai barat Sumatera. Dari surau ini menghasilkan banyak ulama dan menjadi mata rantai perkembangan surau sebagai pusat pendidikan agama Islam. Sebut saja Surau Tuanku nan Tuo di Cangking, Surau Bukit Batabuah di Agam diantara banyak surau yang mengembangkan ajaran Islam melalui Tarekat Syattariyah di Minangkabau.
Sinkretisme dalam surau, seperti yang disebutkan diatas terjadi saat Islam masuk melalui pranata surau. Tempat pertapaan dan berkumpulnya pemuda untuk mempelajari pengetahuan suci dari kepercayaan yang ada pada masa pra-Islam, beralih menjadi sarana pembalajaran Islam. Pada pagi hari, pemuda-pemuda melakukan zikir dalam setengah lingkaran seperti dalam praktek tarekat yang sudah dikenal. Menurut Christine Dobbin, praktek ini bentuk asimilasi pra-Islam dan masih terasa suasana magisnya.
Penganut tasawuf yang disebut dengan Sufi mendapat pengajaran tentang jalan menuju Allah. Ilmu ini hanya diajarkan ke beberapa murid saja dan untuk melanjutkan pemahaman tasawuf ini pemuda yang ada di surau mencari dan memahami sendiri ilmunya. Porsi terbesar dari pendidikan surau ini adalah memahamkan kewajiban dasar muslim melalui ilmu syariah. Murid dan pemuda-pemuda yang memiliki paham keislaman yang bagus dan kemudian berdawah kepenjuru lain Minangkabau kemudian dikenal dengan urang Siak.
Elizabeth E. Graves mengutip dari sejarah Sumatera, William Marsden menyebutkan keberadaan surau menjadi vital dalam hal pembelajaran Islam dan memraktekkannya. Orang-orang Sumatera yang tidak bisa menunaikan ibadah haji ke Mekkah setidaknya berusaha mengunjungi ssalah satu surau terkenal di ranah Minang, kesan Marsden dalam Sejarah Sumatera. Dalam hal ini bisa kita pahami dan telusuri lebih jauh bahwa proses masuknya Islam membawa perubahan tatanan keyakinan masyarakat yang signifikan. Surau menjadi sentra pendidikan yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat akan ilmu agama dan menjadi sarana pembentukan lelaki akil baligh. Lelaki akil baligh ini merupakan lelaki yang sudah siap menempuh proses kehidupan manusia dewasa dan biasanya didorong untuk merantau.
Ajaran Islam yang dipadu dengan mistisisme kepercayaan lama memang menjadi dominan hampir di surau-surau yang ada. Pada perkembangannya, setelah banyak dari pemuda-pemuda yang merantau belajar agama lebih dalam seperti ke Aceh dan Timur Tengah, Islam yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad dipraktikkan dalam lingkungan surau. Masa-masa ini juga beriring dengan kolonialisme dan murid-murid dari Minang mengikuti arus pembaruan Islam di Timur Tengah atau dikenal dengan revolusi Paderi pada abad ke-18. Surau pada masa ini menjadi basis pergerakan perlawanan terhadap kolnialisme Belanda. Pembahasan lebih jauh masa revolusi Paderi akan memiliki pembahasan khusus.
Agenda lain dalam kehidupan surau adalah berusaha, berdagang dan menggarap lahan. Karena laki-laki yang belum menikah. Aktifitas ini berlangsung siang hari setelah matahari meninggi. Para bujang dan lelaki tua turun ke sawah atau ladang-ladang yang hasilnya menjadi sumber keberlangsungan surau. Hasilnya ada yang di konsumsi sendiri atau di jual di pasar dan diganti dengan barang kebutuhan yang tidak ada di surau. Disini nilai kemandirian dilatih untuk para bujang/ pemuda Minang. Tidak hanya hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan surau gadang (besar) atau surau kecil, produk kerajinan juga menjadi sumber penghidupan surau. Laki-laki tua biasanya menggarap bidang yang ini.  Mereka membutuhkan waktu dan proses untuk bisa produktif dan kerajinan tanganlah yang cocok untuk mereka produksi.
Ilmu beladiri juga menjadi bagian dari bahan ajar di surau. Pengaruh kepercayaan lama dalam beladiri tetap ada dalam surau yang sudah terinfiltrasi nilai Islam. Ilmu kebal masih diajarkan dan kemudian juga diajarkan silat sebagai alat pertahanan diri dan keterampilan ekstra bagi bujang. Kepercayaan lama yang bercampur dengan tradisi Islam dan surau baru adalah cara menetukan hari-hari yang baik juga menjadi bagian pendidikan surau saat Islam ada di Minangkabau.
Bersambung....
Surau
Sumber: kaffah.biz

Komentar

Postingan Populer