Islam Reformis dan Surau


Ajaran Islam yang masuk ke ranah Minang membawa bentuk baru dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal keagamaan, praktek dan kepercayaan Hindu-Budha memasuki babak baru. Islam masuk kedalam relung keimanan masyarakat Minangkabau. Kedatangan Islam ini tidak serta merta menggantikan posisi kepercayaan sebelumnya. Hampir sama dengan yang terjadi di pulau Jawa, kala ajaran Nabi Muhammad disyiarkan oleh wali yang tersebar diberbagai pelosok pulau Jawa, substansi Islam disampaikan dengan cara persuasif. Sehingga kepercayaan lama, Hindu-Budha dan aliran kepercayaan lainnya, tergantikan dalam kondisi damai.
Aktifitas perdagangan, politik, seni, sosial budaya menjadi sarana Islam di da’wahkan. Silang budaya ini menghadirkan bentuk Islam dengan nuansa lokalitas tempatnya berada. Proses sinkretisasi (percampuran) ajaran Islam dan kepercayaan lama tidak terelakkan. Tradisi lama yang berasal dari kepercayaan lama dimodifikasi, sehingga muncul dengan tampilan tradisi yang diislamisasi. Penerapan berislam seperti ini bisa kita amati dalam tradisi tasawwuf, rabithah (penengah) merupakan perantara seorang sufi dengan Tuhannya. Perantara ini biasanya adalah seorang syaikh yang memiliki kapasitas keagamaan karena dianggap memiliki kedekatan dengan Tuhan. Praktik ini merupakan bagian dari mistik Islam dan jika ditarik kebelakang memiliki korelasi dengan kepercayaan lama.
Pengejawantahan nafas Islam yang berjalan beriringan dengan tradisi lama bisa kita lihat dalam perkembangan surau. Dalam struktur adat, surau mendapat otoritas yang menentukan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Surau menjadi pagar moral dan yurisprudensi Islam dalam struktur adat masyarakat Minangkabau.
Berpengaruhnya Islam dalam masyarakat, tertuang dalam peribahasa “ABS, SBK”. Hukum adat itu ada dibawah hukum Islam dan surau adalah majelis yang memiliki otoritas mengawasi jalannya aturan ini. Di surau juga percampuran antara tradisi lama dan tradisi Islam terjadi. Masalah ushalli, talqin, kenduri, cina buta, rabithah dianggap sebagai praktek ibadah dalam Islam. Lazimnya praktek ini dijalankan oleh penganut tarekat. Selain praktek-praktek ibadah, praktek waris menjadi penanda adanya percampuran antara hukum adat dengan hukum waris dalam Islam. Agama yang masuknya dari interaksi yang terjadi di sepanjang pantai barat Sumatera memberikan toleransi kepada hukum waris, dimana yang berlaku menganut kepada sistem matrilineal.
Langgengnya pemberlakuan tradisi lama setelah masuknya Islam tidak terlepas dari pola masuknya risalah dari Nabi Muhammad ini. Christine Dobbin mencatat sampai pada tahun 1761, Islam terbatas pada keluarga-keluarga pialang tekemuka di pantai saja. Untuk wilayah pedalaman Minangkabau, interaksi dengan keluarga kesultanan Malaka menjadi jalan masuknya Islam. Agama ini, pada salah satu pola persebarannya, bermula dari kalangan kerajaan yang memiliki pengaruh dalam menetapkan kebijakan adat. Berinteraksinya Islam dalam berbagai kalangan, membawa aliran-aliran dan mazhab dari ajaran Islam. Tarekat Naqsabandiyah dan Syattariyah merupakan aliran tasawwuf yang berkembang pesat di Minangkabau dan mendominasi banyak surau. Perpaduan inilah yang membentuk karakter masyarakat Islam di Minangkabau.

Islam Reformis Pada Masyarakat Minangkabau
Sinkretisme Islam di Minangkabau tidak selamanya berada pada zona nyaman. Islam sebagai nafas baru, tidak serta merta ajarannya tersampaikan secara kaffah kepada masyarakat Minangkabau. Karena masih banyaknya ajaran yang belum tersampaikan dan di praktekkan, mengundang pemuda dan pelajar-pelajar muslim untuk belajar Islam lebih dalam lagi. Sekaligus menunaikan ibadah haji, muslim Minangkabau juga berguru kepada ulama-ulama yang ada di Mekkah dan Madinah. Hasil pembelajaran ini membawa gairah baru. Paham Islam puritan yang berkembang di Jazirah Arab turut memengaruhi muslim Minangkabau. Gerakan Islam reformis diusung untuk memurnikan ajaran Islam di ranah Minang.
Gerakan Islam reformis hadir pada beberapa gelombang. Pada tahun 1803 saat bangkitnya gerakan Wahabi di tanah nabi, di pantai barat Sumatera aliran ini juga membawa kesan sehingga spirit memurnikan ajaran Islam juga di syiarkan. Implikasi dari gerakan ini adalah terjadinya konflik antara kaum Paderi dengan kaum Adat  yang kemudian di catat oleh sejarah sebagai Perang Paderi. Perang ini adalah gelombang pertama dari Islam reformis di ranah Minang.
Gelombang kedua dari Islam reformis ini terjadi pasca politik etis berlaku di Nusantara pada awal abad ke-20. Gerakan ini tetap mengusung puritanisme Islam, menyegarkan kembali ajaran Islam sesuai Al-Qur’an dan Hadits serta mencerabut paham-paham lokal yang langgeng berjalan dengan ajaran islam padahal oleh penganjur Islam reformis bertentangan dengan Sunnah rasul. Tokoh-tokoh sentral dari pembaruan Islam Minangkabau diantaranya adalah Dr. H. Abdul Karim Amrullah, Dr. H. Abdullah Ahmad, dan Syaikh M. Djamil Djambek. Pembaruan ini memunculkan dikotomi yang oleh Deliar Noer disebut dengan Kaum Muda untuk pembaru Islam dan Kaum Tua untuk golongan yang tetap mempertahankan perpaduan Islam dengan tradisi lama.
Dr. H. Abdullah Ahmad (Modernis Islam Minangkabau)
Sumber: sindonews.com
Gerakan yang terinspirasi dari pembaru seperti Jamaludin Al Afghani, Abduh, Iqbal ini menuntut pembebasan untuk ijtihad dan ijma’ yang sesuai dengan modernitas berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Praktek bid’ah, khurafat, takhayul yang tetap berjalan pasca pembaruan gelombang pertama menjadi pembahasan tokoh-tokoh reformis dalam berbagai kesempatan.
Fokus gerakannya sama, tetapi dari tokoh-tokoh ini berbeda cara penyampaian. Perbedaan tampak dari metodologi syiarnya M. Djamil Djambek yang lebih persuasif dengan Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang lebih agresif menyampaikan ide-ide pembaruan Islamnya. Hal ini diungkapkan dalam disertasinya Murni Djamal, mengenai sosok seorang Haji Rasul (gelar untuk Ayah Buya Hamka) beserta pengaruhnya dalam pergerakan Islam dan perlawanan terhadap kolonialisme. Dalam laporan Ph. S. van Ronkel pada tahun 1916, seorang pejabat Belanda, Haji Rasul digambarkan sebagai sosok muslim universalis, fanatic, agresif diantara ulama modernis.
Pokok permasalahan yang diangkat mencakup kepada TBC (Takhayul, Bid’ah, Churofat) dalam berislam, menolak tunduk dalam upacara seikerei, hukum waris. Praktek ini dinilai oleh ulama reformis sebagai kemerosotan dalam berislam. Kaum Muda juga menolak sikap taqlid dan menganjurkan ijtihad sesuai kebutuhan zaman.
Penyokong dari gerakan reformis gelombang kedua ini, tokoh pembaruan ini mendirikan sekolah-sekolah yang memadukan pendidikan modern dan agama. Haji Rasul mengubah suraunya menjadi menjadi Sumatera Thawalib, dan H. Ahmad Abdullah mendirikan Adabiyah di Padang pada tahun 1909. Sekolah-sekolah ini sebagai sarana komunikasi reformis sekaligus upaya pemenuhan kebutuhan yang tidak bisa di asup oleh sekolah sekuler Belanda. Selain itu, juga didirikan organisasi guru. Organisasi yang dinamai Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) dipimpin oleh H. Abdullah Ahmad dan H. Abdul Karim Amrullah.
Gelombang perubahan ini membawa dampak kepada Kaum Tua yang selama ini bertentangan. Sistem sekolah reformis perlahan diterima. Sekitar tahun 1928 manfaat sekolah diterima oleh Kaum Tua dengan menjadikan surau sebagai madrasah yang terorganisasi. Pada masa kebangkitan nasional, Kaum Tua turut berkontribusi melalaui organisasi Tarbiyah Islamiyah yang kemudian menjelma menjadi partai politik Islam, PERTI.
Dinamisasi ini membawa efek pada keberagamaan dan sosiologis masyarakat Minangkabau. Sejarawan Taufik Abdullah menarasikan keberadaan Kaum Muda atau reformis Islam ketika berhadapan dengan sesama muslim memunculkan konflik interpretasi, chaos yang sifatnya kosmis. Dalam berhadapan dengan kelompok lain yang berbeda agama atau berbeda dalam penghayatan berislam, kepekaan beragama ini menjadi salah satu sumber konflik, laten atau terbuka. Hal ini dikarenakan majemuknya masyarakat kita sehingga, perbedaan yang sensitive merupakan pemicu terjadinya konflik. Cara pandang dalam etik beragama juga muncul dari pembaruan ini, pada sebagian golongan, reformasi Islam ini merupakan spirit baru terutama ketika berhadapan dengan penjajah Belanda.
Pergerakan reformis Islam ini berimplikasi juga pada keberadaan surau. Dimana tempat yang jadi rumah ibadah, majelis ilmu, dan pusat penggemblengan manusia Minangkabau fungsinya berubah setelah munculnya sekolah formil baik dari produk pemerintah Belanda ataupun dari bentukan pembaruan Islam. Surau merupakan bentuk sinkretisme Islam, sebagai bentuk kearifan lokal, perannya tidak sentral sebagai wadah pembentukan manusia Minangkabau seperti halnya awal perkembangan Islam di dataran Andalas.

Komentar

Postingan Populer