Haji Politik

Sudah jamak bagi kita melihat dan mendengar orang-orang yang sudah menunaikan rukun Islam kelima dipanggil dengan "pak haji" atau "bu haji". Barangkali, hanya di Indonesia muslim yang menunaikan ibadah ini yang kemudian diberi gelar "Haji".

Gelar haji tak lepas dari kebijakan politik Belanda zaman dulu. Muslim yang melakukan ibadah ke kota Mekkah ini oleh pemerintah kolonial diberi sertifikat Haji sebagai tanda 'kelulusan'. Kebijakan ini di dasari atas kecurigaan kepada mereka-mereka yang beribadah ke Ka'bah akan membawa paham-paham radikal. Paham radikal ini digunakan sebagai cara untuk menghasut masyarakat agar melawan terhadap penjajahan Belanda.

Salah satu kebijakan Belanda atas kekhawatirannya terhadap para Haji ini adalah penetapan Ordonansi Haji tahun 1925. Ordonansi ini mengatur pembatasan muslim yang akan berangkat ke tanah kelahiran Nabi Muhammad, diantaranya dengan menaikkan biaya perjalanan haji.

Pemerintah kolonial kembali menerbitkan ordonansi baru pada tahun 1859, dimana para haji setelah dari Mekkah akan menempuh ujian Haji yang kemudian mendapat sertifikat haji. Sertifikat ini berfungsi sebagai tanda siapa saja yang sudah berhaji yang kemudian di jadikan alat kontrol terhadap pergerakan- pergerakan di masyarakat. Ibadah haji kemudian menjadi ibadah dan perjalanan eksklusif. Melalui sertifikat haji ini, para pembangkang terbatas pergerakannya karena menyandang gelar haji.

Setelah Snouck Hurgronje menjadi penasehat Gubernur Jenderal untuk urusan pribumi, kesempatan berhaji menjadi di buka seluas-seluasnya. Dengan adanya kebijakan ini, haji bukan lagi ibadah dan gelar eksklusif karena seluruh lapisan masyarakat bisa menjalankannya dengan kemudahan-kemudahan yang di fasilitasi. Hasilnya, pembangkangan yang bersumber dari para haji berkurang, karena masyarakat menilai bahwa haji sesuatu yang biasa dan lumrah.

Haji Politik

Menariknya dari kebijakan memberikan sertifikat dan gelar haji oleh pemerintah kolonial, sampai saat ini menjadi tradisi. Mereka yang sudah pulang haji kerap di panggil atau disematkan dalam namanya dengan gelar "haji".

Gelar haji dalam dunia politik seperti mendapat kedudukan dan value khusus. Menjelang tahun politik, dimana masa kampanye terbatas sudah berjalan, media-media kampanye yang bertebaran di setiap jengkal tanah sudah lazim kita melihat para politisi selalu membubuhkan gelar haji. Dalam konteks sosial tertentu, mereka yang bergelar haji ini memiliki prestise dan daya tarik sendiri untuk meraup suara.

Jika pada tempo dulu mereka yang bergelar haji adalah tokoh-tokoh yang melawan terhadap penindasan. Keberadaan mereka di awasi dan mendapat perhatian khusus. Dengan ilmu agamanya, para haji adalah simpul massa dalam rangka pergerakan melawan kolonialisme.

Namun, pada era modern ini, haji merupakan gelar yang digunakan untuk meraup suara masyarakat untuk kepentingan politik. Peran mereka tetap menjadi simpul massa, tetapi kepentingan yang di usung berbeda. Jaman dulu, haji bergerak untuk membebaskan diri dari tekanan kolonialisme. Jaman sekarang????

Komentar

Postingan Populer